Panasnya hubungan kedua negara yang telah terjadi selama berpuluh-puluh tahun tersebut tak kunjung usai, bahkan pemerintah Malaysia seakan tidak bergeming saat menghadapi gelombang protes dari Indonesia. Beberapa kejadian konflik yang berkepanjangan tersebut, menjadi catatan sejarah perjalanan kedua bangsa yang memiliki akar suku bangsa melayu tersebut. Penulis hanya berusaha menggambarkan beberapa babagan penting dalam sejarah konflik kedua negara.
Babagan konflik kesejarahan yang terbaru adalah meningkatnya gelombang nasionalisme di wilayah Indonesia dikarenakan keblingeran pemerintah Malaysia dalam melakukan tindakan-tindakan provokatif dalam beberapa hal terkait dengan hubungan kedua negara.
-1961
Wilayah Kalimantan, di wilayah selatan menjadi bagian dari Provinsi Indonesia, di utara terdapat kerajaan Brunei, dan dua koloni Inggris yaitu Sarawak dan Borneo Utara (yang kemudian dinamakan Sabah). Dalam tahapan selanjutnya pada tahun yang sama ini Inggris mencoba menggabungkan koloninya di semenanjung Malaya dengan yang di pulau kalimantan dengan nama Federasi Malaya.
Rencana ini secara tegas ditolak oleh Presiden RI Soekarno, karena hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan tersebut dan secara jangka panjang akan mengancam kedaulatan NKRI. Pada saat yang hampir bersamaan dengan Soekarno, Filipina pun membuat klaim atas Sabah dengan alasan faktor kesejarahan dengan Kesultanan Sulu yang memiliki kedekatan sejarah dengan Filipina.
-8 Desember 1962
Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) melakukan pemberontakan dengan mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang-orang eropa, Sultan Lolos dan meminta bantuan Imperialis Inggris. Sultan Brunei pada akhirnya didukung oleh pasukan Gurkha dari Singapura. Hal ini sepenuhnya dibawah kendali Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command).
-20 Januari 1963
Menteri Luar Negeri Indonesia, Soebandrio telah mengambil sikap tegas menentang pendirian Koloni Imperialisme Inggris di tanah Melayu
-12 April 1963
Sukarelawan Indonesia telah memasuki wilayah Kalimantan Utara, Sabah dan Sarawak untuk melancarkan aksi propaganda dan aksi penyerangan berupa sabotase terhadap beberapa fasilitas-fasilitas administratif yang dikuasai oleh imperialis Inggris.
-27 Juli 1963
Bung Karno mencanangkan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidatonya yang berjudul yang sama. Isi Pidato tersebut antara lain:
Kalau kita lapar itu biasa, Kalau kita malu juga biasa, Namun kalo kita lapar dan malu itu karena Malaysia, itu Kurangajar!, Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk malayang itu!, Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu, Doakan aku, aku akan berangkat ke medan juang sebagai patriot bangsa, sebagai martir bangsa, dan sebagai peluru bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya. Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu melawan kehinaan ini, kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat. Yoo, Ayoo, Kita Ganyang Ganyang Malaysia. Bulatkan tekad, Semangat kita badja, Peluru kita banjak, Nyawa kita banjak, Bila perloe satoe-satoe!
-31 Agustus 1963
Kemerdekaan Malaysia Yang mana kemerdekaan Malaysia didukung oleh Inggris, hal ini dibuktikan dengan pendirian persemakmuran Inggris Raya (Common Wealth) , pada wilayah Sabah, Sarawak, Brunei dan Singapura bersama-sama dengan Persekutuan Tanah Malaya.
-16 September 1963
Federasi Malaysia resmi terbentuk dengan minus Brunei yang menolak bergabung dan Singapura keluar dari federasi tersebut di kemudian hari.
-Pertengahan 1964
Australia melancarkan operasi Claret, keterlibatan dalam pembebasan kalimantan utara dari Indonesia dengan membawa 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service, hal ini diakui pemerintahannya pada pembukaan dokumen Claret pada 1996.
Pada bulan mei tahun yang sama dibentuk Komando Siaga oleh pemerintah Indonesia yang bertugas mengkoordinir kegiatan perang terhadap malaysia dengan sandi Operasi Dwikora. Pada perjalanannya berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Komando dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dhani sebagai Pangkolaga.
-20 Januari 1965
Ketika PBB menerima keanggotaan tidak tetap Malaysia, Sukarno menarik diri dari PBB dan menyatakan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces-Conefo)
-Pertengahan 1965
Indonesia dengan pasukan resminya menyeberangi perbatasan masuk melalui pintu timur dikawasan Pulau Sebatik dekat Tawau Malaysia, Sabah dan berhadapan langsung dengan Resimen Askar Melayu Diraja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.
-28 Mei 1966
Setelah tampuk kekuasaan berpindah dari tangan Soekarno ke Soeharto, secara resmi pemerintahan kedua negara menyetujui berakhirnya konflik.
-27 oktober 1969
Perjanjian tapal batas kontinental Indonesia-Malaysia
Kedua negara melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, akan tetapi pada akhir tahun 1969 Malaysia memasukkan Pulau sipadan, Pulau Ligitan dan Batu Puteh dalam peta wilayahnya. Akan tetapi Pemerintahan Indonesia waktu itu menolak secara tegas peta wilayah tersebut.
Pada tahun yang sama terjadi kerusuhan etnis besar-besaran diwilayah Kesultanan Brunei karena sentimen ras melayu kalimantan tentang penguasaan Federasi Malaya, hal ini dapat diberantas oleh pasukan imperialis Inggris.
-17 Maret 1970
Persetujuan Tapal Batas Laut Indonesia dan Malaysia
Akan tetapi pada tahun 1979 Malaysia kembali melakukan pengingkaran terhadap perjanjian ini dengan memasukkan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya dengan memajukan koordinat 4 derajat 10 menit arah utara melewati Pulau Sebatik. Hal ini tentu menyebabkan pemerintahan Indonesia pada waktu itu menolak peta baru Malaysia tersebut.
Melalui kedua peristiwa tersebut Malaysia, secara langsung melakukan aksi sepihak dengan melancarkan aksi yang menyebabkan ketegangan yang tinggi dengan Indonesia. Penangkapan Nelayan Indonesia pada wilayah-wilayah yang diakui oleh Malaysia tersebut. Pemerintah Indonesia pun tak henti-hentinya melakukan upaya diplomasi kepada Mahkamah Internasional, akan tetapi tak pernah didapat kesepakatan yang menguntungkan pihak Indonesia. Puncaknya adalah 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag, Belanda memutuskan dalam perkara Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, Indonesia dinyatakan kalah dengan Malaysia. Dalam beberapa hal, Mahkamah Internasional menerima argumentasi Indonesia bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak pernah masuk dalam Kesultanan Sulu seperti yang diklaim Malaysia, akan tetapi Mahkamah Internasional juga mengakui klaim-klaim Malaysia bahwa telah melakukan administrasi serta pengelolaan konservasi alam di kedua pulau tersebut.
Pasca pemilihan presiden langsung yang pertama pada 2004, pengiriman TKI ke Malaysia secara besar-besaran tak terbendung. Berbagai perlakuan kasar Warga Malaysia terhadap para TKI telah memunculkan gelombang aksi dipelosok Indonesia. Pada awal tahun 2005, Indonesia diguncang isu perebutan kawasan ambalat oleh Malaysia, konflik ambalat yang tak kunjung selesai sampai dengan hari ini telah membawa dampak ketegangan yang cukup tinggi.
Pada pertengahan 2009 lalu, kembali isu ketegangan antara kedua negara terjadi dikarenakan tari pendet yang asli dari pulau dewata bali dijadikan salah satu ikon Malaysia dalam iklan resmi pariwisata nasional Bangsa tersebut. Lagi-lagi Malaysia memancing kemarahan warga Indonesia yang pada waktu itu beberapa seniman di bali hingga salah satu pelestari tari pendet menyatakan menolak klaim Malaysia tersebut. Ketegangan sejak akhir 2006 hingga awal 2010, terkait dengan seni dan budaya Indonesia yang diklaim oleh Malaysia. Menurut catatan penulis ada beberapa bahkan terkait dengan kesejarahan nasional Indonesia. Naskah Kuno dari Riau, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara yang diklaim bahkan sudah berada di museum-museum Malaysia. Lalu beberapa lagu daerah asli dari Indonesia seperti Lagu Rasa Sayang-sayange dari Maluku, Lagu Soleram dari Riau, Lagu Injit-injit Semut, Lagu Kakak Tua dari Maluku, Lagu anak kambing saya dari Nusa Tenggara Barat yang diklaim menjadi Lagu Daerah dari Malaysia. Dan masih banyak jenis seni dan budaya yang diklaim oleh Malaysia.
Pada puncak ketegangan yang tinggi pada akhir-akhir ini disebabkan pemerintahan Malaysia juga mulai melakukan serangan yang menciptakan situasi tidak kondusif pada isu keamanan yaitu travel advisory yang dikeluarkan oleh pemerintah Malaysia untuk mencegah bagi warganya untuk melakukan perjalanan ke Indonesia. Demikianlah babagan baru dari konflik panjang Indonesia-Malaysia yang tak pernah tuntas. (dari berbagai sumber)
29/11/10
15/09/10
Sejarah dari Marhaenisme
Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti – sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja – kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti.
Namun dalam Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adams) ia bercerita mengenai pertemuan itu terjadi di Bandung selatan yang daerah persawahannya terhampar luas. Ia menemui seorang petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari sawah itu. Yang ia temukan adalah bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul adalah kepunyaan sendiri dan ia mengejakannya sendiri hasil yang didapat tidak pernah mencukupi untuk istri dan keempat anaknya. Petani itu bernama Marhaen.Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Pada 4 July 1927 ia mendirikan PNI dimana Marhaenisme menjadi asas dan ideologi partai di tahun 1930-an. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik.
Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”, Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.
Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.
11/09/10
Bio data bung karno
Nama: Ir. Soekarno
Nama Panggilan: Bung Karno
Nama Kecil: Kusno.
Lahir: Blitar, Jatim, 6 Juni 1901
Meninggal: Jakarta, 21 Juni 1970
Makam: Blitar, Jawa Timur
Gelar (Pahlawan): Proklamator
Jabatan: Presiden RI Pertama (1945-1966)
Isteri dan Anak: Tiga isteri delapan anak
Isteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh
Isteri Hartini, anak: Taufan dan Bayu
Isteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.
Ayah: Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu: Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan:
HIS di Surabaya (indekos di rumah Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)
HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920
THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926
Ajaran: Marhaenisme
Kegiatan Politik: Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927
Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929
Bergabung memimpin Partindo (1931)
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945
Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945
08/09/10
Arti dari marhaen hingga menjadi ideologi
John D Legge, mantan guru besar sejarah di Monash University Australia, dalam bukunya yang berjudul Sukarno A Political Biography juga mendeskripsikan pembicaraan Soekarno dengan Marhaen itu.”Milik siapa tanah ini?” tanya Soekarno.
”Saya,” jawab Marhaen
”Cangkul ini milik siapa?”
”Saya.”
”Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?”
”Punya saya.”
”Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?”
”Untuk saya.”
”Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?”
“Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.”
”Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?”
”Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri.”
”Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”
”Benar, saya hidup dalam kemiskinan.”
Legenda Marhaen
Siapa Sebenarnya Marhaen?
Foto/sumber :website
Masih ingat legenda tentang dialog antara Soekarno (Bung Karno) dan seorang petani miskin bernama Marhaen? Mang Darmin adalah salah satu cucu Marhaen itu.
Soekarno bertemu dengan Marhaen secara kebetulan ketika sedang berjalan-jalan di daerah Cigereleng, Bandung. Dia melihat seorang petani yang sedang menggarap sawah dan kemudian menghampirinya serta mengajaknya bicara.
John D Legge, mantan guru besar sejarah di Monash University Australia, dalam bukunya yang berjudul Sukarno A Political Biography juga mendeskripsikan pembicaraan Soekarno dengan Marhaen itu.
”Milik siapa tanah ini?” tanya Soekarno.
”Saya,” jawab Marhaen
”Cangkul ini milik siapa?”
”Saya.”
”Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?”
”Punya saya.”
”Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?”
”Untuk saya.”
”Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?”
”Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.”
”Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?”
”Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri.”
”Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”
”Benar, saya hidup dalam kemiskinan.”
Sedemikian terkenalnya legenda ini sehingga bukan hanya terdengar di Indonesia, tetapi juga ke luar negeri. Marhaen juga dijadikan simbol oleh Soekarno untuk membangkitkan petani dan rakyat miskin. Berkembanglah faham marhaenisme.
Persoalannya, cita-cita Bung Karno untuk menjadikan kemerdekaan sebagai jembatan emas bagi segenap bangsa Indonesia untuk mencapai kemakmuran itu belum tercapai
Ki Marhaen mempunyai satu putra, yaitu Ki Udung, yang menikah dengan Arsama. Dari pernikahan itu, Ki Marhaen kemudian mendapat tujuh cucu. Darmin adalah cucu nomor tiga. Ia sendiri kini sudah memiliki empat cucu dan satu cicit. Artinya, sudah enam generasi keturunan Ki Marhaen.
Ironi Kemerdekaan
Dalam banyak buku, menurut Darmin, banyak yang menuliskan bahwa kakeknya itu punya sawah. Tetapi, yang ia dengar sendiri dari cerita ibunya, Arsama, kakeknya itu hidup dalam kemiskinan, tidak punya tanah sendiri.
”Mungkin karena ditanya Bung Karno, dijawab miliknya, padahal cuma kerja,” paparnya.
Saat Darmin hadir diundang ke sebuah pertemuan di Jakarta, ada juga yang mengaku-aku sebagai cucu Marhaen dan bergelar doktorandus dan insinyur. Padahal, kenyataannya, keturunan Marhaen itu untuk lulus sekolah dasar saja sudah setengah mati.
”Sebenarnya, lulus SD saja sudah hampir-hampir,” paparnya.
Menurut Darmin, dari tujuh bersaudara, hanya almarhum kakaknya, Darman, yang hidup cukup lumayan, yaitu sebagai tentara. Darman bergabung dalam Batalyon 328 dan pernah diterjunkan ke Irian Barat.
”Waktu berangkat pangkatnya prada, pulang jadi praka. Lainnya hanya buruh tani,” ujarnya.
Ayit, adik Darmin yang ditemui di rumahnya, di Kelurahan Menggor No 28, RT 2 RW 3, Kecamatan Bandung Kidul, juga bercerita banyak hal tentang kesulitan hidup yang dia hadapi.
”Ibu mah kieu wae. Bumi oge butut (Ibu itu seperti ini saja. Rumah juga jelek),” kata Ayit.
Dia selalu bermimpi mempunyai dapur yang baik, tetapi belum juga kesampaian karena hanya menjadi buruh tani.
Darmin dan Ayit menjadi bukti bahwa kemerdekaan yang dijanjikan belum memberikan banyak perubahan. Jikalau benar dialog Soekarno dengan Marhaen seperti ditulis di banyak buku, nasib cucu-cucu Marhaen berarti semakin buruk.
Kalau dulu sang kakek masih mempunyai tanah, generasi berikutnya tidak lagi. Tetapi, kalau versi yang diceritakan Darmin benar, berarti nasib Marhaen dan keturunannya tidak berubah, masih menjadi petani miskin yang hanya bisa hidup seadanya.
Sebuah ironi bagi faham marhaenisme yang pernah menjadi simbol perjuangan kebangkitan rakyat miskin pada masa Soekarno.
”Saya,” jawab Marhaen
”Cangkul ini milik siapa?”
”Saya.”
”Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?”
”Punya saya.”
”Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?”
”Untuk saya.”
”Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?”
“Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.”
”Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?”
”Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri.”
”Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”
”Benar, saya hidup dalam kemiskinan.”
Legenda Marhaen
Siapa Sebenarnya Marhaen?
Foto/sumber :website
Masih ingat legenda tentang dialog antara Soekarno (Bung Karno) dan seorang petani miskin bernama Marhaen? Mang Darmin adalah salah satu cucu Marhaen itu.
Soekarno bertemu dengan Marhaen secara kebetulan ketika sedang berjalan-jalan di daerah Cigereleng, Bandung. Dia melihat seorang petani yang sedang menggarap sawah dan kemudian menghampirinya serta mengajaknya bicara.
John D Legge, mantan guru besar sejarah di Monash University Australia, dalam bukunya yang berjudul Sukarno A Political Biography juga mendeskripsikan pembicaraan Soekarno dengan Marhaen itu.
”Milik siapa tanah ini?” tanya Soekarno.
”Saya,” jawab Marhaen
”Cangkul ini milik siapa?”
”Saya.”
”Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?”
”Punya saya.”
”Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?”
”Untuk saya.”
”Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?”
”Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.”
”Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?”
”Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri.”
”Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”
”Benar, saya hidup dalam kemiskinan.”
Sedemikian terkenalnya legenda ini sehingga bukan hanya terdengar di Indonesia, tetapi juga ke luar negeri. Marhaen juga dijadikan simbol oleh Soekarno untuk membangkitkan petani dan rakyat miskin. Berkembanglah faham marhaenisme.
Persoalannya, cita-cita Bung Karno untuk menjadikan kemerdekaan sebagai jembatan emas bagi segenap bangsa Indonesia untuk mencapai kemakmuran itu belum tercapai
Ki Marhaen mempunyai satu putra, yaitu Ki Udung, yang menikah dengan Arsama. Dari pernikahan itu, Ki Marhaen kemudian mendapat tujuh cucu. Darmin adalah cucu nomor tiga. Ia sendiri kini sudah memiliki empat cucu dan satu cicit. Artinya, sudah enam generasi keturunan Ki Marhaen.
Ironi Kemerdekaan
Dalam banyak buku, menurut Darmin, banyak yang menuliskan bahwa kakeknya itu punya sawah. Tetapi, yang ia dengar sendiri dari cerita ibunya, Arsama, kakeknya itu hidup dalam kemiskinan, tidak punya tanah sendiri.
”Mungkin karena ditanya Bung Karno, dijawab miliknya, padahal cuma kerja,” paparnya.
Saat Darmin hadir diundang ke sebuah pertemuan di Jakarta, ada juga yang mengaku-aku sebagai cucu Marhaen dan bergelar doktorandus dan insinyur. Padahal, kenyataannya, keturunan Marhaen itu untuk lulus sekolah dasar saja sudah setengah mati.
”Sebenarnya, lulus SD saja sudah hampir-hampir,” paparnya.
Menurut Darmin, dari tujuh bersaudara, hanya almarhum kakaknya, Darman, yang hidup cukup lumayan, yaitu sebagai tentara. Darman bergabung dalam Batalyon 328 dan pernah diterjunkan ke Irian Barat.
”Waktu berangkat pangkatnya prada, pulang jadi praka. Lainnya hanya buruh tani,” ujarnya.
Ayit, adik Darmin yang ditemui di rumahnya, di Kelurahan Menggor No 28, RT 2 RW 3, Kecamatan Bandung Kidul, juga bercerita banyak hal tentang kesulitan hidup yang dia hadapi.
”Ibu mah kieu wae. Bumi oge butut (Ibu itu seperti ini saja. Rumah juga jelek),” kata Ayit.
Dia selalu bermimpi mempunyai dapur yang baik, tetapi belum juga kesampaian karena hanya menjadi buruh tani.
Darmin dan Ayit menjadi bukti bahwa kemerdekaan yang dijanjikan belum memberikan banyak perubahan. Jikalau benar dialog Soekarno dengan Marhaen seperti ditulis di banyak buku, nasib cucu-cucu Marhaen berarti semakin buruk.
Kalau dulu sang kakek masih mempunyai tanah, generasi berikutnya tidak lagi. Tetapi, kalau versi yang diceritakan Darmin benar, berarti nasib Marhaen dan keturunannya tidak berubah, masih menjadi petani miskin yang hanya bisa hidup seadanya.
Sebuah ironi bagi faham marhaenisme yang pernah menjadi simbol perjuangan kebangkitan rakyat miskin pada masa Soekarno.
Marhaenisme
Marhaenisme merupakan paham yang dikembangkan dari pemikiran Soekarno. Ajaran ini menggambarkan kehidupan rakyat kecil. Orang kecil yang dimaksud adalah petani dan buruh yang hidupnya selalu dalam cengkraman orang orang kaya dan penguasa.
Marhaenisme diambil dari nama seseorang yang hidup di Indonesia. Dia adalah seorang petani yang bernama Marhaen mempunyai lahan sendiri, lahan itu dia kerjakan sendiri dan hasilnya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana.
Marhaenisme pada esensinya sebuah faham perlawanan yang terbentuk dari sosio-demokrasi dan sosio-ekonomi Bung Karno.
Marhaenisme diambil dari nama seseorang yang hidup di Indonesia. Dia adalah seorang petani yang bernama Marhaen mempunyai lahan sendiri, lahan itu dia kerjakan sendiri dan hasilnya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana.
Marhaenisme pada esensinya sebuah faham perlawanan yang terbentuk dari sosio-demokrasi dan sosio-ekonomi Bung Karno.
06/09/10
Teks proklamasi
- Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
- Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
- dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
-
-
- Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
- Atas nama bangsa Indonesia.
- Soekarno/Hatta
-
Langganan:
Komentar (Atom)
