John D Legge, mantan guru besar sejarah di Monash University Australia,  dalam bukunya yang berjudul Sukarno A Political Biography juga  mendeskripsikan pembicaraan Soekarno dengan Marhaen itu.”Milik siapa  tanah ini?” tanya Soekarno.
”Saya,” jawab Marhaen
”Cangkul ini milik siapa?”
”Saya.”
”Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?”
”Punya saya.”
”Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?”
”Untuk saya.”
”Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?”
“Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.”    
”Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?”
”Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri.”
”Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”
”Benar, saya hidup dalam kemiskinan.”
Legenda Marhaen
Siapa Sebenarnya Marhaen?
Foto/sumber :website
Masih  ingat legenda tentang dialog antara Soekarno (Bung Karno) dan seorang  petani miskin bernama Marhaen? Mang Darmin adalah salah satu cucu  Marhaen itu.
Soekarno bertemu dengan Marhaen secara kebetulan  ketika sedang berjalan-jalan di daerah Cigereleng, Bandung. Dia melihat  seorang petani yang sedang menggarap sawah dan kemudian menghampirinya  serta mengajaknya bicara.
John D Legge, mantan guru besar sejarah  di Monash University Australia, dalam bukunya yang berjudul Sukarno A  Political Biography juga mendeskripsikan pembicaraan Soekarno dengan  Marhaen itu.
”Milik siapa tanah ini?” tanya Soekarno.
”Saya,” jawab Marhaen
”Cangkul ini milik siapa?”
”Saya.”
”Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?”
”Punya saya.”
”Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?”
”Untuk saya.”
”Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?”
”Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.”
”Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?”
”Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri.”
”Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”
”Benar, saya hidup dalam kemiskinan.”
Sedemikian  terkenalnya legenda ini sehingga bukan hanya terdengar di Indonesia,  tetapi juga ke luar negeri. Marhaen juga dijadikan simbol oleh Soekarno  untuk membangkitkan petani dan rakyat miskin. Berkembanglah faham  marhaenisme.
Persoalannya, cita-cita Bung Karno untuk menjadikan  kemerdekaan sebagai jembatan emas bagi segenap bangsa Indonesia untuk  mencapai kemakmuran itu belum tercapai
Ki Marhaen mempunyai satu  putra, yaitu Ki Udung, yang menikah dengan Arsama. Dari pernikahan itu,  Ki Marhaen kemudian mendapat tujuh cucu. Darmin adalah cucu nomor tiga.  Ia sendiri kini sudah memiliki empat cucu dan satu cicit. Artinya, sudah  enam generasi keturunan Ki Marhaen.
Ironi Kemerdekaan
Dalam  banyak buku, menurut Darmin, banyak yang menuliskan bahwa kakeknya itu  punya sawah. Tetapi, yang ia dengar sendiri dari cerita ibunya, Arsama,  kakeknya itu hidup dalam kemiskinan, tidak punya tanah sendiri.
”Mungkin karena ditanya Bung Karno, dijawab miliknya, padahal cuma kerja,” paparnya.
Saat  Darmin hadir diundang ke sebuah pertemuan di Jakarta, ada juga yang  mengaku-aku sebagai cucu Marhaen dan bergelar doktorandus dan insinyur.  Padahal, kenyataannya, keturunan Marhaen itu untuk lulus sekolah dasar  saja sudah setengah mati.
”Sebenarnya, lulus SD saja sudah hampir-hampir,” paparnya.
Menurut  Darmin, dari tujuh bersaudara, hanya almarhum kakaknya, Darman, yang  hidup cukup lumayan, yaitu sebagai tentara. Darman bergabung dalam  Batalyon 328 dan pernah diterjunkan ke Irian Barat.
”Waktu berangkat pangkatnya prada, pulang jadi praka. Lainnya hanya buruh tani,” ujarnya.
Ayit,  adik Darmin yang ditemui di rumahnya, di Kelurahan Menggor No 28, RT 2  RW 3, Kecamatan Bandung Kidul, juga bercerita banyak hal tentang  kesulitan hidup yang dia hadapi.
”Ibu mah kieu wae. Bumi oge butut (Ibu itu seperti ini saja. Rumah juga jelek),” kata Ayit.
Dia selalu bermimpi mempunyai dapur yang baik, tetapi belum juga kesampaian karena hanya menjadi buruh tani.
Darmin  dan Ayit menjadi bukti bahwa kemerdekaan yang dijanjikan belum  memberikan banyak perubahan. Jikalau benar dialog Soekarno dengan  Marhaen seperti ditulis di banyak buku, nasib cucu-cucu Marhaen berarti  semakin buruk.
Kalau dulu sang kakek masih mempunyai tanah,  generasi berikutnya tidak lagi. Tetapi, kalau versi yang diceritakan  Darmin benar, berarti nasib Marhaen dan keturunannya tidak berubah,  masih menjadi petani miskin yang hanya bisa hidup seadanya.
Sebuah ironi bagi faham marhaenisme yang pernah menjadi simbol perjuangan kebangkitan rakyat miskin pada masa Soekarno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar