15/09/10

Sejarah dari Marhaenisme

Marhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti – sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja – kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti.
Namun dalam Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adams) ia bercerita mengenai pertemuan itu terjadi di Bandung selatan yang daerah persawahannya terhampar luas. Ia menemui seorang petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari sawah itu. Yang ia temukan adalah bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul adalah kepunyaan sendiri dan ia mengejakannya sendiri hasil yang didapat tidak pernah mencukupi untuk istri dan keempat anaknya. Petani itu bernama Marhaen.Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Pada 4 July 1927 ia mendirikan PNI dimana Marhaenisme menjadi asas dan ideologi partai di tahun 1930-an. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik.
Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”, Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.
Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.

11/09/10

Bio data bung karno


Nama: Ir. Soekarno
Nama Panggilan: Bung Karno
Nama Kecil: Kusno.
Lahir: Blitar, Jatim, 6 Juni 1901
Meninggal: Jakarta, 21 Juni 1970
Makam: Blitar, Jawa Timur
Gelar (Pahlawan): Proklamator
Jabatan: Presiden RI Pertama (1945-1966)
Isteri dan Anak: Tiga isteri delapan anak
Isteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh
Isteri Hartini, anak: Taufan dan Bayu
Isteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.

Ayah: Raden Soekemi Sosrodihardjo
Ibu: Ida Ayu Nyoman Rai
Pendidikan:
HIS di Surabaya (indekos di rumah Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)
HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920
THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926

Ajaran: Marhaenisme
Kegiatan Politik: Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927
Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929
Bergabung memimpin Partindo (1931)
Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945
Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945



08/09/10

Arti dari marhaen hingga menjadi ideologi

John D Legge, mantan guru besar sejarah di Monash University Australia, dalam bukunya yang berjudul Sukarno A Political Biography juga mendeskripsikan pembicaraan Soekarno dengan Marhaen itu.”Milik siapa tanah ini?” tanya Soekarno.
”Saya,” jawab Marhaen

”Cangkul ini milik siapa?”
”Saya.”

”Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?”
”Punya saya.”

”Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?”
”Untuk saya.”

”Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?”
“Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.”

”Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?”
”Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri.”

”Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”
”Benar, saya hidup dalam kemiskinan.”



Legenda Marhaen

Siapa Sebenarnya Marhaen?
Foto/sumber :website

Masih ingat legenda tentang dialog antara Soekarno (Bung Karno) dan seorang petani miskin bernama Marhaen? Mang Darmin adalah salah satu cucu Marhaen itu.

Soekarno bertemu dengan Marhaen secara kebetulan ketika sedang berjalan-jalan di daerah Cigereleng, Bandung. Dia melihat seorang petani yang sedang menggarap sawah dan kemudian menghampirinya serta mengajaknya bicara.

John D Legge, mantan guru besar sejarah di Monash University Australia, dalam bukunya yang berjudul Sukarno A Political Biography juga mendeskripsikan pembicaraan Soekarno dengan Marhaen itu.

”Milik siapa tanah ini?” tanya Soekarno.

”Saya,” jawab Marhaen

”Cangkul ini milik siapa?”

”Saya.”

”Kalau peralatan-peralatan itu semua milik siapa?”

”Punya saya.”

”Hasil panen yang kamu kerjakan ini untuk siapa?”

”Untuk saya.”

”Apakah itu cukup untuk keperluan kamu?”

”Hasilnya pas-pasan untuk mencukupi hidup kami.”

”Apakah kamu juga bekerja menggarap tanah orang?”

”Tidak. Saya harus bekerja keras. Semua tenaga saya untuk lahan saya sendiri.”

”Tapi kawan, hidup kamu dalam kemiskinan?”

”Benar, saya hidup dalam kemiskinan.”

Sedemikian terkenalnya legenda ini sehingga bukan hanya terdengar di Indonesia, tetapi juga ke luar negeri. Marhaen juga dijadikan simbol oleh Soekarno untuk membangkitkan petani dan rakyat miskin. Berkembanglah faham marhaenisme.

Persoalannya, cita-cita Bung Karno untuk menjadikan kemerdekaan sebagai jembatan emas bagi segenap bangsa Indonesia untuk mencapai kemakmuran itu belum tercapai

Ki Marhaen mempunyai satu putra, yaitu Ki Udung, yang menikah dengan Arsama. Dari pernikahan itu, Ki Marhaen kemudian mendapat tujuh cucu. Darmin adalah cucu nomor tiga. Ia sendiri kini sudah memiliki empat cucu dan satu cicit. Artinya, sudah enam generasi keturunan Ki Marhaen.

Ironi Kemerdekaan

Dalam banyak buku, menurut Darmin, banyak yang menuliskan bahwa kakeknya itu punya sawah. Tetapi, yang ia dengar sendiri dari cerita ibunya, Arsama, kakeknya itu hidup dalam kemiskinan, tidak punya tanah sendiri.

”Mungkin karena ditanya Bung Karno, dijawab miliknya, padahal cuma kerja,” paparnya.

Saat Darmin hadir diundang ke sebuah pertemuan di Jakarta, ada juga yang mengaku-aku sebagai cucu Marhaen dan bergelar doktorandus dan insinyur. Padahal, kenyataannya, keturunan Marhaen itu untuk lulus sekolah dasar saja sudah setengah mati.

”Sebenarnya, lulus SD saja sudah hampir-hampir,” paparnya.

Menurut Darmin, dari tujuh bersaudara, hanya almarhum kakaknya, Darman, yang hidup cukup lumayan, yaitu sebagai tentara. Darman bergabung dalam Batalyon 328 dan pernah diterjunkan ke Irian Barat.

”Waktu berangkat pangkatnya prada, pulang jadi praka. Lainnya hanya buruh tani,” ujarnya.

Ayit, adik Darmin yang ditemui di rumahnya, di Kelurahan Menggor No 28, RT 2 RW 3, Kecamatan Bandung Kidul, juga bercerita banyak hal tentang kesulitan hidup yang dia hadapi.

”Ibu mah kieu wae. Bumi oge butut (Ibu itu seperti ini saja. Rumah juga jelek),” kata Ayit.

Dia selalu bermimpi mempunyai dapur yang baik, tetapi belum juga kesampaian karena hanya menjadi buruh tani.

Darmin dan Ayit menjadi bukti bahwa kemerdekaan yang dijanjikan belum memberikan banyak perubahan. Jikalau benar dialog Soekarno dengan Marhaen seperti ditulis di banyak buku, nasib cucu-cucu Marhaen berarti semakin buruk.

Kalau dulu sang kakek masih mempunyai tanah, generasi berikutnya tidak lagi. Tetapi, kalau versi yang diceritakan Darmin benar, berarti nasib Marhaen dan keturunannya tidak berubah, masih menjadi petani miskin yang hanya bisa hidup seadanya.

Sebuah ironi bagi faham marhaenisme yang pernah menjadi simbol perjuangan kebangkitan rakyat miskin pada masa Soekarno.

Marhaenisme

Marhaenisme merupakan paham yang dikembangkan dari pemikiran Soekarno. Ajaran ini menggambarkan kehidupan rakyat kecil. Orang kecil yang dimaksud adalah petani dan buruh yang hidupnya selalu dalam cengkraman orang orang kaya dan penguasa.
Marhaenisme diambil dari nama seseorang yang hidup di Indonesia. Dia adalah seorang petani yang bernama Marhaen mempunyai lahan sendiri, lahan itu dia kerjakan sendiri dan hasilnya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana.
Marhaenisme pada esensinya sebuah faham perlawanan yang terbentuk dari sosio-demokrasi dan sosio-ekonomi Bung Karno.

06/09/10

Teks proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Proklamator 

Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605